2021-10-12 05:22:52
TIDAK INGIN IBADAH, TIDAK USAH MAKAN
Makan untuk hidup, atau hidup untuk makan? Acapkali, pertanyaan ini kita dengar, atau baca. Sebenarnya, tak ada satupun yang benar dari keduanya. Makan yang hanya dimaksudkan untuk hidup, serta hidup yang hanya bertujuan untuk makan, adalah makan-hidup yang nirnilai.
Lantas, apa tujuan hidup, pun tujuan makan yang ideal? Ibadah, hanya ibadah. Ibadah adalah perintah akal. Bahkan, sebelum difirmankan secara tegas oleh Sang Ada dalam kitab suci-Nya (Az-zariyat, 57), akal telah mewajibkan ibadah.
Hal ini, sebagai konsekuensi logis dari defendensitas mutlak wujud diri. Bahwa wujud yang serba butuh, mesti menghamba pada wujud yang serba tak butuh. Maka, menghamba pada sesama wujud butuh, adalah penyimpangan (kemusyrikan).
Jangan halu, merasa mandiri, merasa bisa sendiri, melakukan segala-galanya seorang diri. Sadar atau tidak, tak terhitung berapa banyak wujud lain yang kita libatkan, untuk sekedar menikmati rebahan. Maka jangan sombong, bila nasi yang anda konsumsi masih disirami oleh keringat para petani yang justru mungkin sulit makan.
Manusia adalah wujud defenden, wujud yang butuh. Bahkan kata Mulla Sadra, manusia adalah defendensitas dan kebutuhan itu sendiri. Ibarat putih dengan warna putih, begitulah hubungan manusia dengan kebutuhan. Hubungan esensial, tak akan terpisah. "Antumul fuqoro'u ilallah...", begitu Firman-Nya (Al-fatir, 15).
Dalam hidup dan matinya, manusia butuh pada yang lain. Untuk hidup, manusia butuh pada manusia lain, butuh pada hewan dan tumbuhan, pada udara, listrik, air, dan sekarang, butuh pada internet. Bisa dibayangkan, betapa hidup serasa mati, bila internet, listrik atau air, mati walau sehari.
Pun, untuk mati, manusia butuh pada yang lain. Butuh pada makhluk atau benda lain untuk menghabisi nyawanya. Setelah nyawanya habis, ia butuh pada manusia lain untuk mengurus jasadnya, mendoakan jiwanya, dan menjaga apa yang ditinggalkannya.
Bahkan, jika anda ingin mati seperti matinya pepohonan yang mati lalu terlupakan, tetap saja anda butuh hal lain di luar diri anda, agar anda mati dan terlupakan.
Yah, manusia adalah makhluk yang butuh, bukan hanya untuk hidup, tapi juga untuk mati. Percuma berupaya abadi. Abadi tak menghilangkan kebutuhan anda, tak menyulap anda menjadi Tuhan yang tak butuh. Justru, semakin abadi anda, semakin abadi pula kebutuhan anda pada yang lain, khususnya pada Yang Maha Abadi.
Dengan memahami ini, akal menunduk bersimpuh sembari berkata, kita mesti menghamba hanya pada wujud yang layak dipertuhan. Kita mesti menempuh gerak perfeksi dengan ibadah. Menyembah-Nya sesuai dengan cara yang dikehendaki-Nya. Menyembah-Nya dengan cara yang dibuat sendiri, hakikatnya adalah menuhankan diri dan menghambakan Dia.
Jadi, hidup untuk makan, atau makan untuk hidup? Apapun jawabnya, pastilah benar, jika diujungi oleh ibadah. Hidup untuk makan, makan untuk beroleh energi, energi untuk melanjutkan hidup, lanjutkan hidup untuk ibadah. Atau singkatnya, makan untuk hidup, hidup untuk ibadah.
Tentu, akan ada efek-efek ibadah. Hingga bisa dikatakan misalnya, makan untuk hidup, hidup untuk ibadah, ibadah untuk hidup yang lebih hidup, yaitu kehidupan yang bernilai. Namun, efek-efek ibadah tersebut tak usah dijadikan motif, itu mencemari keikhlasan. Efek ibadah adalah urusan-Nya. Urusan kita adalah beribadah, titik.
Tidak ingin ibadah, tidak usah makan. Makan, berarti siap untuk ibadah. Kepada pendosa yang datang meminta nasehat agar tak lagi melakukan dosa, Imam Husain berkata;
"Lakukan lima hal ini, jika engkau bisa, maka berbuat dosalah sesukamu. Satu, jangan kau makan rizki Tuhan. Dua, keluarlah dari penguasaan Tuhan. Tiga, jangan sampai terlihat oleh Tuhan. Empat, jika malaikat maut datang mencabut nyawamu, tolaklah. Lima, jika engkau dimasukkan ke neraka, keluarlah".
Sederhananya, anda boleh tak ibadah, tapi berhentilah makan. Tidak makan berhari-hari, itu perih. Tapi tak seperih jiwa yang tak ibadah walau sehari.
~Alfit Lyceum
#salamharmonisasi
#filsafatharmonisasi
367 views02:22