Get Mystery Box with random crypto!

Dunia, termasuk harta, boleh dinikmati. Yang penting, jangan b | Belajar Dari Ippho Santosa

Dunia, termasuk harta, boleh dinikmati. Yang penting, jangan berlebih-lebihan dan jangan bermegah-megahan. Kali ini saya mengajak sidang pembaca menyimak pendapat ulamanya para ulama. Namanya Syeikh Yusuf Qardhawi.

Beberapa waktu yang lalu, alhamdulillah saya sempat bertamu dan bertemu dengan Syeikh Yusuf Qardhawi di rumahnya. Personal. Ada beberapa hal yang saya tanya dan beliau jawab, di antaranya peranan harta.

Sebagai ketua para ulama di dunia, beliau mengatakan bahwa harta itu mutlak diperlukan. Lapar, kan perlu makan. Haus, kan perlu minum. Takut, kan perlu naungan. Termasuk urusan dakwah. Jangan tabu dengan harta.

Beliau pun mengingatkan pentingnya bersedekah dengan mengutip Surat Al-Ma’un. Namun beliau juga mengingatkan bahaya bermegah-megahan dengan mengutip Surat Al-Takatsur. Masya Allah, peringatan yang berimbang!

Kalau Anda punya uang Rp 1 triliun, bukan berarti setelah berzakat dan bersedekah sebesar 60%, Anda bebas menggunakan sekitar 40% seenaknya. Uang sebesar Rp400miliar, ini jumlah yang nggak main-main. Harus ada pertanggung-jawaban. Kepantasan. Kewajaran.

Boleh-boleh saja menikmati dunia. Tapi, sekali lagi, dengan kepantasan dan kewajaran. Tidak berlebih-lebihan dan tidak bermegah-megahan.

Kurang kaya apa Umar dan Usman di zamannya? Demikian pula kekuasaannya, kurang apa? Adakah mereka bermegah-megahan? Setahu saya, Umar hanya pernah mengizinkan bawahannya sesekali menunjukkan kekuatan hartanya untuk menggetarkan musuh. Benar-benar sesekali. Bukan gaya hidup sehari-hari.

Memang Umar memiliki banyak ladang. Tapi ia gunakan itu untuk kepentingan orang banyak, bukan untuk kepentingan dirinya sendiri. Minimal, membuka lapangan kerja. Wong, lauk yang ia makan cuma satu setiap kali ia makan.

Contoh lain. Anda membeli Volvo seharga hampir Rp 1 M dengan alasan keamanan pribadi, itu sah-sah saja. Seorang kepala negara memakai sedan anti peluru seharga puluhan miliar dengan alasan keamanan negara, itu pun sah-sah saja. Soal fungsi tho, bukan soal emosi.

Tapi kalau Anda memesan mobil khusus berlapis emas atau mengoleksi ratusan mobil (koleksi pribadi ya, bukan untuk bisnis), kemungkinan itu bagian dari berlebih-lebihan dan bermegah-megahan. Sayangnya, kita masih menyaksikan fenomena semacam ini di sejumlah keluarga raja.

Contoh lain. Anda membeli handphone berbasis satelit seharga 20-an juta dengan tujuan kemudahan kerja di hutan atau di pertambangan, itu sah-sah saja. Soal fungsi tho, bukan soal emosi. Tapi kalau Anda membeli handphone berlapis emas, kemungkinan itu bagian dari berlebih-lebihan dan bermegah-megahan.

Di sejumlah kediaman raja, diberitakan perabot-perabot pun berlapis emas. Padahal, agama tidak pernah menganjurkan begitu. "Tapi itu kan uangnya sendiri, terserah dia dong!" Secara rasional, dalih itu memang betul. Namun secara spiritual, sepertinya ada sesuatu yang perlu diperbaiki. Karena, lagi-lagi, bertentangan dengan semangat Al-Takatsur.

Saya kenal dengan sejumlah triliuner Indonesia yang harga tasnya (atau harga tas istrinya) cuma beberapa juta rupiah saja. Padahal, kalau mereka mau membeli tas Hermes seharga Rp250juta, yah bisa-bisa saja. Itu receh, bagi mereka.

Kita pun sama-sama tahu, harta Warren Buffett sempat mencapai US$ 70 miliar (sekitar ratusan triliun rupiah). Tapi, ia memilih untuk tetap tinggal di rumah seharga US$ 32 ribu (kalau dirupiahkan, cuma semiliar atau kurang).

Boro-boro punya mobil mewah dan kapal pesiar, Warren Buffett lebih memilih mengendarai mobil tua yang dia beli seharga US$ 50 ribu. Kalau sarapan, ternyata ia tidak pernah menghabiskan lebih dari US$ 3,2 atau Rp 45.000. Ingat ya, ia salah satu orang terkaya di dunia.

Serunya, kekayaan sebesar itu merupakan hasil jerih-payahnya sendiri. Bukan karena ayahnya mewariskan harta. Bukan pula karena keluarganya berstatus bangsawan. Serunya lagi, Warren Buffett lebih tertarik berdonasi ke yayasan orang lain ketimbang ke yayasannya sendiri.

Demikianlah. Boleh menikmati dunia. Tapi, dengan kewajaran. Tidak bermegah-megahan. Warren Buffett adalah contoh yang relatif baik.

Wallahu A'lam Bishawab