2022-09-01 04:03:45
DEMI WAKTUPenulis: Ustaz Arief B. Iskandar
(Khadim Ma'had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor)
WAKTU begitu cepat berlalu. Tahun 1443 H telah berakhir. Tahun baru 1444 H telah hadir.
Sadar atau tidak, hadirnya tahun baru sesungguhnya menandakan satu hal: jatah umur manusia yang terus berkurang.
Terkait dengan hal di atas, tentu menarik saat Allah Swt. berfirman:
*والعصر. ان الانسان لفي خسر*
Demi waktu. Sungguh manusia benar-benar ada dalam kerugian… (TQS
al-‘Ashr [103]: 1-2).
Menurut Ahmad Muhamad asy-Syarqawi, surat yang mulia ini menjelaskan kepada kita jalan keselamatan dari kerugian dan kesuksesan meraih keridhaan Allah Swt.. Karena itulah, Imam asy-Syafii pernah berkata,
“Andai manusia merenungkan surat ini saja, cukuplah bagi mereka.” (Asy-Sya
rqawi, hlm. 4).
Dalam ayat di atas, setelah sebelumnya Allah Swt. bersumpah dengan waktu, Dia menyatakan dengan tegas bahwa sesungguhnya manusia benar-benar merugi. Mengapa merugi? Mengapa Allah Swt. menyatakan demikian?
Sebagaimana kita ketahui, kerugian hakikatnya adalah berkurangnya atau bahkan lenyapnya modal (Lihat:
Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, II/1156; al-Fayumi, Mishbah al-Munir, I/78).
Jika rugi—sebagaimana juga dirasakan oleh para pedagang/pebisnis—adalah berkurangnya modal, lalu apa modal manusia? Apanya yang berkurang dari manusia? Modal manusia tidak lain adalah waktu yang ia miliki atau umurnya. Inilah yang terus berkurang. Meski lahiriahnya bertambah, umur manusia hakikatnya terus berkurang setiap saat. Sebabnya, Allah Swt. telah menjatah umur setiap manusia. Tentu hanya Dia Yang Mahatahu berapa jatah umur yang Dia berikan kepada setiap manusia di dunia ini.
Saat Allah menjatah umur si fulan di dunia ini hanya 60 tahun, misalnya, dan ia telah memasuki usia 55 tahun pada akhir tahun ini, maka sebanyak itulah modal umurnya berkurang. Berarti sisa umurnya tinggal 5 tahun lagi. Tahun berikutnya modal umurnya tinggal 4 tahun lagi. Tahun berikutnya lagi modal umurnya tinggal 3 tahun lagi. Begitu seterusnya hingga modal umurnya habis saat ajal datang kepada dirinya.
Tentu, manusia mengalami kerugian saat menghabiskan umurnya dalam hal-hal yang tidak bermanfaat. Salah seorang ulama salaf berkomentar tentang QS al-‘Ashr di atas, “Aku mempelajari pengertian surat ini dari salah seorang penjual es yang berkeliling di pasar."
Sebagaimana diketahui, penjual es yang berkeliling di pasar, laku atau tidak jualan esnya, tetap esnya akan habis atau terbuang. Jika laku dan esnya habis, ia akan beruntung. Jika tidak laku, esnya akan meleleh/mencair dan terbuang sia-sia. Ia pun tentu merugi.
Karena itu, kata Imam ar-Razi, manusia yang melewati waktu hingga umurnya berlalu, namun ia tak memperoleh hal-hal yang bermanfaat (berbuah pahala), maka rugilah dia.” (Lihat: Ar-Razi,
Mafatih al-Ghayb, XXIII/85).
Kerugian manusia lebih besar lagi saat ia menjual akhiratnya demi memperoleh dunia. Menjual hal-hal yang abadi dengan yang fana. Menjual kemuliaan untuk mendapatkan kehinaan. Yang lebih hina lagi, dia menjual akhiratnya untuk kepentingan duniawi orang lain.
Dalam hal ini, Abu Hayan berkata, “Siapa saja yang menjual akhiratnya demi memperoleh dunia, ia berada dalam puncak kerugian. Ini berbeda dengan seorang Mukmin karena ia justru membeli akhirat dengan menjual dunianya hingga ia memperoleh keuntungan dan kebahagiaan.” (Lihat: Abu Hayan,
Bahr al-Muhith, VIII/509).
Namun demikian, tidak semua manusia merugi karena modal umurnya yang terus berkurang.
Ada manusia yang tetap beruntung meski modal umurnya habis. Siapa gerangan? Tidak lain, sebagaimana dalam lanjutan ayat tersebut:
...kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran (TQS al-‘Ashr [103]: 3).
Merekalah orang-orang yang berhasil mengganti modal umurnya yang terus berkurang dengan iman, amal saleh dan aktivitas saling menasihati (baca: dakwah). Ketiganya bakal menghasilkan keuntungan berlipat ganda dan tak ternilai harganya berupa pahala dan surga di akhirat nanti.
223 views01:03