Get Mystery Box with random crypto!

Hubbul Wathon Minal Iman (HWMI)

Logo saluran telegram hwmichannel — Hubbul Wathon Minal Iman (HWMI) H
Logo saluran telegram hwmichannel — Hubbul Wathon Minal Iman (HWMI)
Alamat saluran: @hwmichannel
Kategori: Agama
Bahasa: Bahasa Indonesia
Pelanggan: 2.42K
Deskripsi dari saluran

News n Update

Ratings & Reviews

4.67

3 reviews

Reviews can be left only by registered users. All reviews are moderated by admins.

5 stars

2

4 stars

1

3 stars

0

2 stars

0

1 stars

0


Pesan-pesan terbaru

2022-08-31 16:49:42 Kalau Ustadz Ahli Ruqyah Itu Mau Jujur

Sihir itu adalah sesuatu yang di luar kebiasaan yang melalui proses belajar maupun melakukan sesuatu yang bisa menimbulkan sesuatu yang di luar kebiasaan. Dan sihir itu terjadi pada orang fasiq atau orang kafir. Contohnya sihir di sini seperti (semisal) SULAP.

Kalau kitab Bughyatul mustarsyidin ini yang dibaca oleh si ustadz ahli ruqyah itu seharusnya beliau harus kupas secara tuntas apa itu sihir dan apa contohnya. Ternyata dalam kitab Bughyatul mustarsyidin ini jelas كالشعوذة semisal sulap.... Sulap adalah trik kecepatan tangan dengan melakukan sebuah aktivitas, trik.

- Sanie Uye -

Nb : Video lengkapnya silahkan kunjungi channel Sanie Uye.

*_Dapatkan terus Update info Hubbul Wathon Minal Iman_*

Website : www.hwmi.or.id

Telegram :
https://t.me/hwmichannel

Instagram :
https://s.id/Ig_hwmionline_id

Twitter :
https://twitter.com/Hubbul_Wathon26?s=08

Youtube:
https://s.id/DutaHWMIOfficial

Helo-app :
https://s.id/helo-app_KontenHWMI

Tik tok : https://s.id/tiktok_hwmi

Quotes HWMI : https://s.id/hwmi-Quotes

#HubbuWathonMinalIman
#NahdlatulUlama
#IslamNusantara
#MediaDakwahOnline
64 views13:49
Buka / Bagaimana
2022-08-31 16:49:34
59 views13:49
Buka / Bagaimana
2022-08-30 17:24:58 Jadi, waspadalah akan tipu daya mujassim.

Semoga bermanfaat.

- Gus AWA -
=============

*_Dapatkan terus Update info Hubbul Wathon Minal Iman_*

Website : www.hwmi.or.id

Telegram :
https://t.me/hwmichannel

Instagram :
https://s.id/Ig_hwmionline_id

Twitter :
https://twitter.com/Hubbul_Wathon26?s=08

Youtube:
https://s.id/DutaHWMIOfficial

Helo-app :
https://s.id/helo-app_KontenHWMI

Tik tok : https://s.id/tiktok_hwmi

Quotes HWMI : https://s.id/hwmi-Quotes

#HubbuWathonMinalIman
#NahdlatulUlama
#IslamNusantara
#MediaDakwahOnline
196 views14:24
Buka / Bagaimana
2022-08-30 17:24:58 Makna, Jenis dan Polemik Takwil Disertai Contoh Kasusnya: "Tangan Allah"

Apakah tangan adalah sifat? Jelas bukan sifat. Tak ada ceritanya orang bilang: "Badanmu tangan sekali" atau bilang "Engkau sungguh tangan". Tangan adalah salah satu organ bagian dari tubuh, bukan sifat bagi tubuh. Sifat tubuh adalah semisal besar, kecil, halus, kasar, hitam, putih, bagus, jelek dan sebagainya. Siapa yang tak bisa membedakan mana bagian tubuh dan mana sifat tubuh, maka akalnya sedang bermasalah serius.

Lalu mengapa para ulama salafus shaleh selalu menyebut "tangan Allah" sebagai sifat? Jawabannya, sebab mereka mentakwil kata tangan itu dan sama sekali tidak bermaksud bahwa tangan Allah adalah suatu organ yang merupakan bagian dari tubuh Allah. Bahkan mereka tidak pernah menyebut Allah punya tubuh sebab mereka bukan mujassim. Ingat poin paling penting ini bahwa ketika tangan disebut sebagai sifat, maka itu adalah takwil!

Takwil sendiri adalah pemalingan makna dari makna asli yang biasanya (makna denotatif) menuju makna lainnya (makna konotatif). Hal ini ada dalam semua bahasa di dunia dan merupakan sesuatu yang lumrah. Ketika seseorang berkata "Nasib kita ada di tangan Allah", tentu anda paham bahwa maksud tangan di situ bukan organ Tuhan tapi kontrol Tuhan.

Takwil makna tangan dari makna asal organ menuju makna sifat ini dilakukan seluruh ulama salafus shaleh. Istilah resminya adalah takwil ijmali. Setelah semua ulama aswaja sepakat mentakwil atau memalingkan makna ini, lalu mereka berbeda pendapat apakah maknanya yang baru (hasil takwil ijmali) dapat ditentukan secara spesifik sesuai kaidah bahasa Arab atau tidak? Penentuan makna secara spesifik inilah yang disebut takwil tafshili. Sebagian sepakat memberikan takwil tafshili, sebagian lain menolaknya dan menganggapnya terlarang sebab bagi mereka lebih aman tidak membicarakannya tetapi cukup baca saja ayat atau hadisnya tanpa ditafsiri dengan makna apa pun.

Perbedaan pendapat soal boleh tidaknya tafsil tafshili ini hanya cabang akidah, sama sekali tidak ada masalah. Meskipun sebagian ulama sangat keras mengutuk takwil tafshili, sebagian ulama hebat lainnya di berbagai karya besar yang dirujuk seluruh dunia tetap enjoy mentakwil tafshili sebab ini ranah ijtihad, bukan larangan dari ayat atau hadis. Jadi ketika misalnya Imam Ibnu Qudamah mengutuk keras takwil tafshili dan menyesat-nyesatkan pelakunya, para imam lain semisal Imam Nawawi, Ibnu Hajar, al-Qurthubi, para pensyarah Shahih Bukhari klasik dan tak terhitung lainnya tetap saja melakukan takwil tafshili sebab mereka tahu takkan ada malaikat yang bertanya: "Kenapa kamu tidak beriman pada perkataan Ibnu Qudamah?".

Yang menjadi pokok akidah adalah takwil ijmali. Seluruh Ahlussunah wal Jamaah sepakat tentang ini. Yang berbeda hanyalah kalangan mujassimah, yakni aliran sesat yang selalu menyusun redaksi seolah Allah punya tubuh dan memiliki anggota badan seperti wajah, tangan, kaki dan seterusnya. Mereka adalah aliran sesat sejati yang menyelisihi pokok akidah Aswaja.

Untuk membuat dagangannya laku, mujassimah ini kerap memakai istilah Aswaja agar kalangan awam tidak sadar akan kesesatan mereka yang menyelisihi akidah mayoritas ulama. Istilah tubuh tuhan mereka ganti dengan istilah "Dzat Tuhan". Istilah organ tubuh Tuhan mereka ganti dengan istilah "shifat dzatiyah" atau kadang "shifat a'yan". Jadi kalangan awam perlu hati-hati ketika mendengar istilah ini sebab yang dimaksud ulama salafus shalih dan yang dimaksud mujassim berbeda jauh. (Yang dimaksud salafus shalih adalah ulama di era awal islam, bukan orang sekarang yang ngaku salaf)

Ulama salaf memakai istilah "Dzat Allah" dalam arti entitas Allah, sedangkan mujassim memakainya dengan arti tubuh Allah. Ulama salaf memakai istilah "shifat" dalam rangka memalingkan dari makna organ, mujassim justru untuk menetapkan makna organ. Ulama salaf memakai istilah "shifat dzatiyah" untuk sifat-sifat maknawi semisal hidup, mendengar, melihat, berkuasa dan sebagainya, mujassim justru memakai istilah itu dengan maksud organ yang menjadi bagian dari dzat.
161 views14:24
Buka / Bagaimana
2022-08-30 17:24:48
142 views14:24
Buka / Bagaimana
2022-08-30 16:01:52 SEJAJAR DENGAN IMAM-IMAM MUHADDITSIN

W4h4b1 selalu menyebut dirinya sebagai Salafi [pengikut Salaf], padahal tokoh yang dijadikan panutan adalah salah satu manusia generasi sekarang, Muhammad Nashiruddin Al Albani (wafat 1999 M).

Kaum W4h4b1 terus berusaha keras membranding Al Albani ini sebagai ahli hadits yang disejajarkan dengan Imam-Imam Hadits masa salaf.

Ketika dalam mentakhrij hadits, nama Al Albani disejajarkan dengan nama para Imam Hadits masa salaf, dan Al Albani diposisikan sebagai pemutus terakhir status hadits tersebut.

Seperti yang dilakukan oleh penulis buku Shahih Al Albani ini. Buku dengan judul Shahil Al Albani ini memberi kesan seolah-olah setara dengan kitab Shahih al Bukhari, Shahih Musim, Sunan at Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan an Nasai, Sunan Ibnu Majah, Mu'jam at Thabarani, Musnad Ahmad, dan sebagainya.

Kaum W4h4b1 memang dikenal pandai menggiring opini awam meskipun dengan cara dusta.

والله المستعان

- Dafid Fuadi -
===============

*_Dapatkan terus Update info Hubbul Wathon Minal Iman_*

Website : www.hwmi.or.id

Telegram :
https://t.me/hwmichannel

Instagram :
https://s.id/Ig_hwmionline_id

Twitter :
https://twitter.com/Hubbul_Wathon26?s=08

Youtube:
https://s.id/DutaHWMIOfficial

Helo-app :
https://s.id/helo-app_KontenHWMI

Tik tok : https://s.id/tiktok_hwmi

Quotes HWMI : https://s.id/hwmi-Quotes

#HubbuWathonMinalIman
#NahdlatulUlama
#IslamNusantara
#MediaDakwahOnline
157 views13:01
Buka / Bagaimana
2022-08-30 16:01:45
149 views13:01
Buka / Bagaimana
2022-08-30 13:56:33
165 views10:56
Buka / Bagaimana
2022-08-29 16:00:06 Tampak sekali kontradiksi antara pernyataan sebelumnya yang mengatakan turun dalam arti sebenarnya ke langit dunia yang terendah, dengan pernyataan terakhir bahwa turun bukan dalam arti berada di bawah langit yang lebih tinggi. Pernyataan semacam ini tak dapat dipahami oleh akal sehat mana pun sebab secara rasional bila Allah disebut turun dalam arti sebenarnya, maka itu berarti Ia menuju ke tempat di mana enam langit berada di atasnya dan satu langit terendah, yakni langit dunia, berada tetap di bawahnya. Bila maknanya ternyata bukan demikian, berarti itu bukanlah makna hakikat yang dimengerti oleh manusia tetapi makna kiasan (takwil) atau memasrahkan makna hakikatnya kepada Allah semata (tafwîdh). Anehnya, Syekh Ibnu Utsaimin menolak keras takwil ataupun tafwidh sehingga penjelasannya di atas sama sekali tak bisa dipahami.

Makin kontradiktif lagi ketika Syekh Ibnu Utsaimin dan banyak tokoh pendaku salafi lainnya di satu sisi menegaskan bahwa Allah berada di atas Arasy secara hakikat setiap saat tetapi juga turun ke langit dunia yang mengalami sepertiga malam terakhir setiap saatnya juga secara hakikat. Ungkapan seperti ini sama sekali tak dapat dimengerti sebab ini berkaitan dengan Dzat Allah dan dua tempat fisikal yang berbeda. Lain halnya bila kasusnya adalah tindakan Allah (af’âl), semisal Allah dapat memberi rezeki seluruh makhluk dalam waktu bersamaan, dapat menghitung amal perbuatan seluruh manusia dan jin di akhirat secara bersamaan, dan perbuatan lainnya dari Allah. Perbuatan Allah atau af’âl bisa beragam dan serentak dalam satu waktu sebab Allah Maha Berkuasa, tetapi tentu saja berbeda halnya dengan Dzat Allah yang secara pasti dan meyakinkan hanya ada satu dan tak bertempat pula.

Sayangnya, penjelasan manusia bukanlah seperti ayat suci yang apabila tak bisa dinalar lantas tetap diimani tanpa dibahas. Akan tetapi, seluruh penjelasan tak masuk akal dari manusia selain Nabi mesti ditolak dan diabaikan, apalagi bila berkaitan dengan aqidah. Adapun argumennya bahwa pembahasan seperti ini adalah kebatilan sebab tak pernah dibahas oleh para Sahabat merupakan argumen yang rapuh. Betapa banyak pembahasan yang tak ada di masa Sahabat namun dibahas di masa berikutnya seiring tumbuhnya ilmu pengetahuan di segala bidang.

Sebenarnya kontradiksi tersebut akan hilang apabila mereka mau membuang jauh-jauh kata “hakikat” itu sebagaimana Rasulullah dan para sahabat juga tak pernah memakainya. Namun, sepertinya mereka enggan melakukannya dan terus menerus memilih redaksi yang secara lahiriyah mengarah pada makna fisikal, meski mereka sendiri menolak disebut Mujassimah atau Musyabbihah. Wallahu a’lam.

Penulis:
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Center PCNU Jember
Sumber : NU Online
===================

*_Dapatkan terus Update info Hubbul Wathon Minal Iman_*

Website : www.hwmi.or.id

Telegram :
https://t.me/hwmichannel

Instagram :
https://s.id/Ig_hwmionline_id

Twitter :
https://twitter.com/Hubbul_Wathon26?s=08

Youtube:
https://s.id/DutaHWMIOfficial

Helo-app :
https://s.id/helo-app_KontenHWMI

Tik tok : https://s.id/tiktok_hwmi

Quotes HWMI : https://s.id/hwmi-Quotes

#HubbuWathonMinalIman
#NahdlatulUlama
#IslamNusantara
#MediaDakwahOnline
236 views13:00
Buka / Bagaimana
2022-08-29 16:00:06 Aqidah Kontradiktif W4h4b1 Salafi tentang Turunnya Tuhan

Oleh : Gus AWA

Dinyatakan dalam suatu hadits shahih bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي، فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

Tuhan kita yang Maha Agung dan Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia ketika telah tersisa sepertiga malam terakhir. Ia berfirman: Siapakah yang berdoa kepadaku, maka aku akan mengabulkannya, Siapa yang meminta kepadaku, maka aku akan memberikannya. Siapa yang memohon ampun kepadaku maka akan Aku ampuni.
(HR. Bukhari-Muslim)

Telah dibahas sebelumnya dalam artikel berjudul “Makna ‘Allah Turun ke Langit Dunia di Sepertiga Malam Terakhir’” bahwa menurut Ahlussunnah Wal Jamaah, kata “turun” dalam hadits itu tidak mungkin dimaknai secara hakikat dalam arti pergerakan Dzat Allah dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah sebab Allah bukanlah jisim sehingga keberadaan-Nya tidaklah terbatas (tahayyuz) dalam ruang. Penafsiran Ahlussunnah tersebut cocok sepenuhnya dengan berbagai dalil lainnya tentang sifat Allah dan sama sekali jauh dari kontradiksi.

Berbeda dengan itu, beberapa tokoh modern dari kalangan pendaku Salafi mengutarakan pendapat yang berbeda dan kontradiktif. Salah satunya adalah Syekh Ibnu Utsaimin yang dalam kitabnya menyatakan:

نزوله تعالى حقيقي ... ونقول: ينزل ربُّنا إلى السماء الدنيا، وهي أقرب السماوات إلى الأرض، والسماوات سبع، وإنما ينزل عزَّ وجلَّ في هذا الوقت من الليل للقرب من عباده جل وعلا ... أن المراد بالنزول هنا نزول الله نفسه

“Turunnya Allah adalah secara hakikat (turun dalam makna bukan kiasan)… Kami berpendapat bahwa Tuhan kita turun ke langit dunia, langit tersebut adalah langit terdekat ke bumi, sedangkan jumlah langit ada tujuh. Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla turun di waktu ini tak lain karena agar dekat dari para hamba-Nya. … bahwa yang dimaksud dengan turun di sini adalah turunnya Allah sendiri."
(Syarh al-‘Aqîdah al-Wâshithiyah, juz II, halaman 13-14).

Jadi, dia menafsirkan hadits tersebut sebagai turun dalam makna hakikat. Makna hakikat ini dia perjelas maksudnya adalah sebuah tindakan dari Allah untuk mendekat. Pernyataan ini tak bisa dimaknai lain selain dalam arti bahwa Allah bergerak sehingga jarak antara Allah dan para hamba-Nya semakin pendek; dari awalnya di atas langit ke tujuh menuju ke langit terdekat dari bumi (langit dunia). Di samping itu, ia menyatakan dengan amat jelas bahwa yang turun adalah Allah sendiri, bukan turunnya malaikat, kasih sayang atau urusan Allah.

Syekh Ibnu Utsaimin tahu betul argumen ulama Ahlussunnah yang menyatakan bahwa makna turun adalah pergerakan (harakah wa intiqâl) sedangkan pergerakan adalah sifat baru dan Allah maha suci dari sifat-sifat baru sehingga harusnya hadits di atas tidak dimaknai secara literal. Menurutnya, argumen semacam ini adalah perdebatan yang bathil (jidâl bi al-bâthil) yang tak menghalangi dari hakikat turunnya Allah (nuzûl). Alasannya, para sahabat tak pernah mengatakan seperti ini sehingga yang mengatakannya dianggap seolah lebih tahu dari para sahabat. (Lihat: Syarh al-‘Aqîdah al-Wâshithiyah, juz II, halaman 15).

Selanjutnya, Syekh Ibnu Utsaimin menegaskan makna turun yang dia maksud sebagai berikut:

فنقول: ينزل، لكنه عال عزَّ وجلَّ على خلقه؛ لأنه ليس معنى النزول أن السماء تُقِلُّه، وأن السماوات الأخرى تظلُّه؛ إذ إنه لا يحيط به شيء من مخلوقاته.

“Kami berkata: Allah turun, tetapi Ia Maha Tinggi di atas seluruh makhluknya, sebab sesungguhnya makna turun bukanlah dalam arti bahwa langit menyangganya sedangkan beberapa langit lain menaunginya karena Allah tak diliputi oleh satupun dari makhluk-Nya.” (Syarh al-‘Aqîdah al-Wâshithiyah, juz II, halaman 15).
194 views13:00
Buka / Bagaimana